Candi Mendut
Candi Mendut adalah sebuah candi bercorak
Buddha. Candi yang terletak di Jalan Mayor Kusen Kota Mungkid, Kabupaten
Magelang, Jawa Tengah ini, letaknya berada sekitar 3 kilometer dari candi
Borobudur.
Masa pembuatan
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan
Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang
bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci
bernama wenuwana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi
Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.
Arsitektur candi
Bahan bangunan candi sebenarnya adalah batu
bata yang ditutupi dengan batu alam. Bangunan ini terletak pada sebuah basement
yang tinggi, sehingga tampak lebih anggun dan kokoh. Tangga naik dan pintu
masuk menghadap ke barat-daya. Di atas basement terdapat lorong yang
mengelilingi tubuh candi. Atapnya bertingkat tiga dan dihiasi dengan
stupa-stupa kecil. Jumlah stupa-stupa kecil yang terpasang sekarang adalah 48
buah.
Tinggi bangunan adalah 26,4 meter.
Hiasan pada candi Mendut
Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa
hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan
berupa dewata gandarwa dan apsara atau bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda.
Pada kedua tepi tangga terdapat relief-relief
cerita Pancatantra dan jataka.
Dinding candi dihiasi relief Boddhisatwa di
antaranya Awalokiteśwara, Maitreya, Wajrapāṇi dan Manjuśri. Pada dinding tubuh
candi terdapat relief kalpataru, dua bidadari, Harītī (seorang yaksi yang
bertobat dan lalu mengikuti Buddha) dan Āţawaka.
Di dalam induk candi terdapat arca Buddha
besar berjumlah tiga: yaitu Dhyani Buddha Wairocana dengan sikap tangan (mudra)
dharmacakramudra. Di depan arca Buddha terdapat relief berbentuk roda dan
diapit sepasang rusa, lambang Buddha. Di sebelah kiri terdapat arca
Awalokiteśwara (Padmapāņi) dan sebelah kanan arca Wajrapāņi.
Relief-relief
Ada 4 relief di candi mendut yaitu
-
Relief 1 (Brahmana dan seekor
kepiting)
Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini:
Maka adalah seorang brahmana yang datang dari
dunia bawah dan bernama Dwijeswara. Ia sangat sayang terhadap segala macam
hewan.
Maka berjalanlah beliau untuk bersembahyang di
gunung dan berjumpa dengan seekor kepiting di puncak gunung yang bernama
Astapada, dibawa di pakaiannya. Maka kata sang brahmana: “Kubawanya ke sungai,
sebab aku merasa kasihan.” Maka iapun berjalan dan berjumpa dengan sebuah balai
peristirahatan di tepi sungai. Lalu dilepaslah si kepiting oleh sang brahmana.
Si Astapada merasa lega hatinya. Sedangkan sang brahmana beristirahat di
balai-balai ini. Ia tidur dengan nikmat, hatinya nyaman.
Adalah seekor ular yang berteman dengan seekor
gagak dan merupakan ancaman bagi sang brahmana. Maka kata si ular kepada
kawannya si gagak: “Jika ada orang datang ke mari untuk tidur, ceritakan
padaku, aku mangsanya.”
Si gagak melihat sang brahmana tidur di
balai-balai. Segeralah keluar si ular katanya: “Aku ingin memangsa matanya
kawan.” Begitulah perjanjian mereka.
Si kepiting yang dibawa oleh sang brahmana
mendengar. Lalu kata si kepiting di dalam hati: “Aduh, sungguh buruk kejahatan
si gagak dan ular. Sama-sama buruk kelakuannya.” Terpikir olehnya bahwa si
kepiting berhutang budi kepada sang brahmana. Ia ingin melunasi hutangnya, maka
pikirnya. “Ada siasatku, aku akan berkawan dengan keduanya.” Maka ujar si
kepiting, “Wahai kedua kawanku, akan kupanjangkan leher kalian, supaya lebih
nikmat kalau kalian ingin memangsa sang brahmana.” – “Aku setuju dengan usulmu,
dengan segera.” Begitulah kata si gagak dan si ular keduanya. Kedua-keduanya
ikut menyerahkan leher mereka dan disupit di sisi sana dan sini oleh si
kepiting dan keduanya langsung putus seketika. Matilah si gagak dan si ular
-
Relief 2 (Angsa dan kura-kura)
Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini.
Namun cerita yang disajikan di bawah ini agak berbeda versinya dengan lukisan
di relief ini:
Ada kura-kura bertempat tinggal di danau
Kumudawati. Danau itu sangat permai, banyak tunjungnya beranekawarna, ada
putih, merah dan (tunjung) biru.
Ada angsa jantan betina, berkeliaran mencari
makan di danau Kumudawati yang asal airnya dari telaga Manasasara.Adapun nama
angsa itu, si Cakrangga (nama) angsa jantan, si Cakranggi (nama) angsa betina.
Mereka itu bersama-sama tinggal di telaga Kumudawati.
Maka sudah lamalah bersahabat dengan
kura-kura. Si Durbudi (nama) si jantan, sedangkan si Kacapa (nama) si betina.
Maka sudah hampir tibalah musim kemarau. Air
di danau Kumudawati semakin mengeringlah. [Kedua] angsa, si Cakrangga dan si
Cakranggi lalu berpamitan kepada kawan mereka si kura-kura; si Durbudi dan si
Kacapa. Katanya:
“Wahai kawan kami meminta diri pergi dari
sini. Kami ingin pergi dari sini, sebab semakin mengeringlah air di danau.
Apalagi menjelang musim kemarau.Tidak kuasalah kami jauh dari air. Itulah
alasannya kami ingin terbang dari sini, mengungsi ke sebuah danau di pegunungan
Himawan yang bernama Manasasana. Amat murni airnya bening dan dalam. Tidak
mengering walau musim kemarau sekalipun. Di sanalah tujuan kami kawan.”
Begitulah kata si angsa.Maka si kura-kurapun menjawab, katanya:
“Aduhai sahabat, sangat besar cinta kami
kepada anda, sekarang anda akan meninggalkan kami, berusaha untuk hidupmu
sendiri.
Bukankah (keadaannya) sama kami dengan anda,
tidak bisa jauh dari air? Ke mana pun anda pergi kami akan ikut, dalam suka dan
duka anda. Inilah hasil persahabatan kami dengan kalian.
Angsa menjawab: “Baiklah kura-kura. Kami ada
akal. Ini ada kayu, pagutlah olehmu tengah-tengahnya, kami akan memagut
ujungnya sana dan sini dengan isteriku. Kuatlah kami nanti membawa terbang
kamu, [hanya] janganlah kendor anda memagut, dan lagi jangan berbicara. Segala
yang kita atasi selama kami menerbangkan anda nanti, janganlah hendaknya anda
tegur juga. Jika ada yang bertanya jangan pula dijawab. Itulah yang harus anda
lakukan, jangan tidak mentaati kata-kata kami. Apabila anda tidak mematuhi
petunjuk kami tak akan berhasil anda sampai ke tempat tujuan, akan berakhir
mati.”Maka demikianlah kata angsa.
Lalu dipagutlah tengah-tengah kayu itu oleh si
kura-kura, ujung dan pangkalnya dipatuk oleh angsa, di sana dan di sini, laki
bini, kanan kiri.Segera terbang dibawa oleh angsa, akan mengembara ke telaga
Manasasara, tempat tujuan yang diharapkannya. Telah jauh terbang mereka,
sampailah di atas ladang Wilanggala.Maka adalah anjing jantan dan betina yang
bernaung di bawah pohon mangga. Si Nohan nama si anjing jantan, si Babyan nama
si betina. Maka mendongaklah si anjing betina, melihat si angsa terbang,
keduanya sama menerbangkan kura-kura. Lalu katanya.“Wahai bapak anakku,
lihatlah itu ada hal yang amat mustahil. Kura-kura yang diterbangkan oleh angsa
sepasang!”Lalu si anjing jantan menjawab: “Sungguh mustahil kata-katamu. Sejak
kapan ada kura-kura yang dibawa terbang oleh angsa? Bukan kura-kura itu tetapi
tahi kerbau kering, sarang karu-karu! Oleh-oleh untuk anak angsa, begitulah
adanya!” Begitulah kata si anjing jantan.
Terdengarlah kata-kata anjing itu oleh
kura-kura, marahlah batinnya. Bergetarlah mulutnya karena dianggap tahi kerbau
kering, sarang karu-karu.
Maka mengangalah mulut si kura-kura, lepas
kayu yang dipagutnyam jatuhlah ke tanah dan lalu dimakan oleh serigala jantan
dan betina.Si angsa malu tidak dipatuhi nasehatnya. Lalu mereka melanjutkan
perjalanan melayang ke danau Manasasara.
-
Relief 3 (Dharmabuddhi dan
Dustabuddhi)
Cerita ini mengenai dua orang sahabat anak
para saudagar. Suatu hari Dharmabuddhi menemukan uang dan bercerita kepada
kawannya Dustabuddhi. Lalu mereka berdua menyembunyikan uang ini di bawah
sebuah pohon. Setiap kali mereka membutuhkan uang, Dharmabuddhi mengambil
sebagian dan membagi secara adil. Tapi Dustabuddhi tidak puas dan suatu hari
mengambil semua uang yang tersisa. Ia lalu menuduh Dharmabuddhi dan menyeretnya
ke pengadilan. Tetapi akhirnya Dustabuddhi ketahuan dan dihukum.
-
Relief 4 (Dua burung betet yang
berbeda)
Relief ini melukiskan cerita dua burung betet
bersaudara namun berbeda kelakuannya karena yang satu dididik oleh seorang
penyamun. Sedangkan yang satu oleh seorang pendeta.
Vihara Buddha Mendut
Persis di sebelah candi Mendut terdapat vihara
Buddha Mendut. Vihara ini dahulunya adalah sebuah biara Katholik yang kemudian
tanahnya dibagi-bagi kepada rakyat pada tahun 1950-an. Lalu tanah-tanah rakyat
ini dibeli oleh sebuah yayasan Buddha dan di atasnya dibangun vihara. Dalam
vihara ini terdapat asrama, tempat ibadah, taman, dan beberapa patung Buddha.
Beberapa di antaranya adalah sumbangan dari Jepang.
Dibuat oleh :
Alvin
Bella
Gaby
Jenny
Lavia
Vania
Tidak ada komentar:
Posting Komentar