Borobudur
NAMA BOROBUDUR
Dalam Bahasa
Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah
candi juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan
purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang,
gapura, dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal mula nama Borobudur
tidak jelas, meskipun memang nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak
diketahui. Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah Pulau
Jawa" karya Sir Thomas Raffles. Raffles menulis mengenai monumen bernama
borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama
yang sama persis. Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai
adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah
Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.
Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur,
kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa
terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan candi memang
seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles juga
menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam
bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro
purba". Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal
dari istilah bhudhara yang berarti gunung.
BOROBUDUR
Borobudur
adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah,
Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya
Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut
Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha
Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.
Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia,sekaligus salah satu
monumen Buddha terbesar di dunia.
Sejarah
Pembangunan
Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 1916—1919)
merekonstruksi suasana di Borobudur pada masa jayanya
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah
yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya. Waktu pembangunannya diperkirakan
berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup
Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan
abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi.
Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan
wangsa Syailendra di Jawa Tengah, yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan
Sriwijaya. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun
lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga
pada tahun 825.
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang
berkuasa di Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra
diketahui sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi
melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya
beragama Hindu Siwa. Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan
Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja
beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang
dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mil) sebelah
timur dari Borobudur. Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang
hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian
Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih
awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur —
saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin
kepada umat Buddha untuk membangun candi.[26] Bahkan untuk menunjukkan
penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha
(komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang
dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam
Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi. Petunjuk ini dipahami oleh para
arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah
yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa
saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.
Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu
— wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa —
yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan
Ratu Boko. Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di
Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan
sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa
Syailendra, akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi
dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak
Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.
Tahapan pembangunan Borobudur
Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal
Borobudur adalah stupa tunggal yang sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga
massa stupa raksasa yang luar biasa besar dan berat ini membahayakan tubuh dan kaki
candi sehingga arsitek perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa
raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk
seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:
Tahap pertama
Masa pembangunan Borobudur tidak
diketahui pasti (diperkirakan kurun 750 dan 850 M). Borobudur dibangun di atas
bukit alami, bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar diperluas.
Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari batu andesit, bagian bukit
tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga menyerupai cangkang yang
membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit ditutup struktur batu lapis demi
lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang
sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun
yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur asli
piramida berundak.
Tahap kedua
Penambahan dua undakan
persegi, pagar langkan dan satu undak melingkar yang diatasnya langsung dibangun
stupa tunggal yang sangat besar.
Tahap ketiga
Terjadi perubahan rancang
bangun, undak atas lingkaran dengan stupa tunggal induk besar dibongkar dan
diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris
melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang besar di
tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi diperlebar, dibangun kaki tambahan
yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Para
arkeolog menduga bahwa Borobudur semula dirancang berupa stupa tunggal yang
sangat besar memahkotai batur-batur teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa
besar ini terlalu berat sehingga mendorong struktur bangunan condong bergeser
keluar. Patut diingat bahwa inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan
pada bagian atas akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga
Borobudur terancam longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk
membongkar stupa induk tunggal yang besar dan menggantikannya dengan
teras-teras melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya
satu stupa induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak longsor maka
ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur ini
adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar tubuh candi
tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus menyembunyikan relief Karmawibhangga
pada bagian Kamadhatu
Tahap
keempat
Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan
relief, penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas
gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki.
Borobudur diterlantarkan
Meletusnya Gunung Merapi diduga sebagai penyebab utama
diterlantarkannya Borobudur
Borobudur tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad
terkubur di bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon
dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit.
Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga kini masih belum
diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak
lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok
memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur setelah serangkaian
letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang
menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber menduga bahwa
sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini. Bangunan suci ini
disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam
naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Ia
menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976) juga
mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan
sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad ke-15.
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng
rakyat Borobudur beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah
yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan kesialan, kemalangan dan
penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan nasib buruk
yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa),
monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak
kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709. Disebutkan bahwa bukit
"Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum
mati oleh raja. Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini
dikaitkan dengan kesialan Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan
Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada 1757. Meskipun terdapat tabu yang
melarang orang untuk mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran datang dan
mengunjungi satria yang terpenjara di dalam kurungan (arca buddha yang terdapat
di dalam stupa berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang Pangeran
jatuh sakit dan meninggal dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada
masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai tempat
bersemayamnya roh halus dan dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan
kesialan atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan
mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah situs ini
tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah menjadi sarang
wabah penyakit seperti demam berdarah atau malaria.
Penemuan
kembali
Foto pertama Borobudur oleh Isidore van Kinsbergen (1873)
setelah monumen ini dibersihkan dari tanaman yang tumbuh pada tubuh candi.
Bendera Belanda tampak pada stupa utama candi.
Teras tertinggi setelah restorasi Van Erp. Stupa utama
memiliki menara dengan chattra (payung) susun tiga.
Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau
Jawa, Jawa dibawah pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816.
Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki
minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak antik
kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa
yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam
perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya di Semarang tahun 1814,
ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa
Bumisegoro. Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak
dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C. Cornelius,
seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar ini.
Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak
belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang
mengubur candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan
membersihkan semua lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk
menyerahkan berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya
menyebutkan beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali
monumen ini, serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah
hilang ini.
Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di
Keresidenan Kedu meneruskan kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh
bagian bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih
bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan atas
kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca buddha
besar di stupa utama. Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa
yang ia temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.
Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang
insinyur pejabat Belanda bidang teknik, ia mempelajari monumen ini dan
menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk melakukan
penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya pada 1859.
Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang
dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja
sama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans,
yang mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada
1873, monograf pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan,
dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Perancis setahun kemudian. Foto
pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van
Kinsbergen.
Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu
yang cukup lama Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi
pencuri, penjarah candi, dan kolektor "pemburu artefak". Kepala arca
Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh arca
buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh
pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak
ditemukan arca Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi
incaran kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882,
kepala inspektur artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya
dan reliefnya dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil,
ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen. Akibatnya, pemerintah
menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan menyeluruh
atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini; laporannya
menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini
dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.
Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata,
arca dan ukirannya diburu kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs
bersejarah ini bahkan salah satunya direstui Pemerintah Kolonial. Pada tahun
1896, Raja Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di Hindia Belanda
(kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari
Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan
gerobak penuh arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke
Thailand antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief,
dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca
penjaga dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus meter di
barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala,
kini dipamerkan di Museum Nasional Bangkok.
Pemugaran
Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika
Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi.
Foto-foto yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891.
Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah
menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah membentuk komisi yang
terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang
sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara
Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen
Pekerjaan Umum.
Penanaman beton dan pipa PVC untuk memperbaiki sistem
drainase Borobudur pada pemugaran tahun 1973
Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah
rencana pelestarian Borobudur kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak
harus segera diatasi dengan mengatur kembali sudut-sudut bangunan, memindahkan
batu yang membahayakan batu lain di sebelahnya, memperkuat pagar langkan
pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang, stupa dan stupa utama. Kedua,
memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki sistem drainase dengan
memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan longgar harus
dipindahkan, monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu yang
rusak dipindahkan dan stupa utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada
saat itu ditaksir sekitar 48.800 Gulden.
Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan
prinsip anastilosis dan dipimpin Theodor van Erp. Tujuh bulan pertama
dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen untuk menemukan kepala
buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp membongkar dan membangun kembali
tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak. Dalam prosesnya Van Erp
menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan proposal lain yang
disetujui dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan
rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra
(payung batu susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan
pertama, Borobudur telah pulih seperti pada masa kejayaannya. Akan tetapi
rekonstruksi chattra hanya menggunakan sedikit batu asli dan hanya rekaan
kira-kira. Karena dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, Van
Erp membongkar sendiri bagian chattra. Kini mastaka atau kemuncak Borobudur
chattra susun tiga tersimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya
memusatkan perhatian pada membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak
memecahkan masalah drainase dan tata air. Dalam 15 tahun, dinding galeri miring
dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan. Van Erp menggunakan beton yang
menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan kalsium hidroksida yang
menyebar ke seluruh bagian bangunan dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan
masalah sehingga renovasi lebih lanjut diperlukan.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak
cukup untuk memberikan perlindungan yang utuh. Pada akhir 1960-an, Pemerintah
Indonesia telah mengajukan permintaan kepada masyarakat internasional untuk
pemugaran besar-besaran demi melindungi monumen ini. Pada 1973, rencana induk
untuk memulihkan Borobudur dibuat. Pemerintah Indonesia dan UNESCO mengambil
langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini dalam suatu proyek besar antara
tahun 1975 dan 1982. Pondasi diperkokoh dan segenap 1.460 panel relief
dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan membongkar seluruh lima teras bujur
sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan menanamkan saluran air ke dalam
monumen. Lapisan saringan dan kedap air ditambahkan. Proyek kolosal ini
melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen dan menghabiskan biaya total
sebesar 6.901.243 dollar AS. Setelah renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke
dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 1991. Borobudur masuk dalam
kriteria Budaya "mewakili mahakarya
kretivitas manusia yang jenius", "menampilkan pertukaran penting dalam
nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu wilayah
budaya di dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang
monumental, perencanaan tata kota dan rancangan lansekap", dan "secara
langsung dan jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau tradisi yang hidup,
dengan gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik dan karya
sastra yang memiliki makna universal yang luar biasa".
Relief
Seni
pahat Borobudur memiliki kehalusan gaya dan
citarasa estetik yang anggun
Letak relief kisah-kisah naskah suci Buddha di dinding
Borobudur
Borobudur
Pada dinding candi di setiap tingkatan — kecuali pada
teras-teras Arupadhatu — dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan
sangat teliti dan halus.[57] Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis
dengan proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus. Relief-relief ini
sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam
kesenian dunia Buddha.[58] Relief Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa
India, seperti berbagai sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis
tertentu. Relief-relief berwujud manusia mulia seperti pertapa, raja dan wanita
bangsawan, bidadari atapun makhluk yang mencapai derajat kesucian laksana dewa,
seperti tara dan boddhisatwa, seringkali digambarkan dengan posisi tubuh
tribhanga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk tiga" yaitu melekuk atau
sedikit condong pada bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan beban
tubuh hanya bertumpu pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya dilekuk
beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan keanggunan, misalnya
figur bidadari Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh tribhanga sambil
menggenggam teratai bertangkai panjang.
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok
manusia baik bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan,
serta menampilkan bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur
tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat
Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan masa lampau di Jawa kuno dan
Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati dan merujuk ukiran relief
Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung, istana dan candi, bentuk perhiasan,
busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa, serta alat
transportasi, dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah relief
terkenal yang menggambarkan Kapal Borobudur. Kapal kayu bercadik khas Nusantara
ini menunjukkan kebudayaan bahari purbakala. Replika bahtera yang dibuat
berdasarkan relief Borobudur tersimpan di Museum Samudra Raksa yang terletak di
sebelah utara Borobudur.
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau
disebut mapradaksina
dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya
ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain
relief-relief cerita jātaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa
dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya,
mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka
secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama)
dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun
sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding
dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut.
Bagan Relief
Tingkat
|
Posisi/letak
|
Cerita Relief
|
Jumlah Pigura
|
Kaki
candi asli
|
-----
|
Karmawibhangga
|
160
|
Tingkat
I
|
dinding
|
a.
Lalitawistara
|
120
|
b.
jataka/awadana
|
120
|
langkan
|
a.
jataka/awadana
|
372
|
b.
jataka/awadana
|
128
|
Tingkat
II
|
dinding
|
Gandawyuha
|
128
|
langkan
|
jataka/awadana
|
100
|
Tingkat
III
|
dinding
|
Gandawyuha
|
88
|
langkan
|
Gandawyuha
|
88
|
Tingkat
IV
|
dinding
|
Gandawyuha
|
84
|
langkan
|
Gandawyuha
|
72
|
Jumlah
|
1460
|
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara
singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga
Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi
Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang
menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma.
Karmawibhangga adalah naskah yang menggambarkan ajaran mengenai karma, yakni
sebab-akibat perbuatan baik dan jahat. Deretan relief tersebut bukan merupakan
cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang
mempunyai hubungan sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran
terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan
diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan
merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati
(samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah
yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara yang
terbuka dan dapat dilihat oleh pengujung. Foto lengkap relief Karmawibhangga
dapat disaksikan di Museum Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.
Lalitawistara
Pangeran Siddhartha Gautama mencukur rambutnya dan
menjadi pertapa
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan
relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari
turunnya Sang Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan wejangan pertama
di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi
sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang
dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan,
baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya
penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut
menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha,
putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief
tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang
secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di
sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan
sebagai roda.
Jataka dan Awadana
Jataka adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum
dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan
perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela berkorban dan suka menolong yang
membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Beberapa kisah
Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah yang melibatkan tokoh satwa yang
bersikap dan berpikir seperti manusia. Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau
perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat
ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan
Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan
ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia
kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief
candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya
terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal
dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka,
karya penyair Aryasura yang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong
ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya
mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana.
Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana
yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab
lainnya yaitu Bhadracari.
Disusun Oleh:
Alvin
Bella
Gaby
Jenny
Lavia
Vania
Tidak ada komentar:
Posting Komentar