Kelompok Genap
Gio
Fandi / 8
Ivan
Darmawan /10
Janice
Alberta / 12
Jessica
Tee / 14
Maria
Stefani / 16
Michael
Christoper / 18
Shania
Aurelia / 20
a. Perbedaan Candi yang Berlanggam
Jawa Tengah dan yang Berlanggam Jawa
Timur
Dilihat dari bangunannya, candi
dibedakan menjadi dua bentuk (langgam), yaitu langgam Jawa Tengah dan
langgam Jawa Timur. Termasuk candi berlanggam Jawa Timur adalah candi-candi yang berada di Sumatra dan di Bali.
Langgam Jawa Tengah
|
Langgam Jawa Timur
|
a. Bentuk bangunannya tambun
b. Atapnya berundak-undak
c. Puncaknya berbentuk stupa atau ratna
d. Gawang pintu berhiaskan kalamakara
e. Umur candi lebih tua
f. Berfungsi sebagai tempat pemujaan
g. Menggambarkan susunan masyarakat
yang feodal
h. Reliefnya timbul agak menonjol dari lukisannya naturalis
i. Letak candi di tengah halaman
j. Kebanyakan menghadap ke timur
k. Kebanyakan terbuat dari batu hitam(andesit)
|
a. Bentuk bangunannya ramping
b. Atapnya merupakan perpaduan tingkatan
c. Puncaknya berbentuk kubus
d. Gawang pintu diberi kepala kala
e. Umur candi lebih muda
f. Berfungsi sebagai kuburan raja-raja
g. Menggambarkan susunan masyarakat
yang federal
h. Reliefnya timbul hanya sedikit dan
lukisannyasimbolis menyerupai wayang kulit.
i. Letak candi di bagian belakang halaman
j. Kebanyakan menghadap ke barat
k. Kebanyakan terbuat dari batu bara.
|
b. Candi Budha di Jawa Timur
Pada awal abad ke-10 M, tepatnya
tahun 929 M, pusat pemerintahan di Jawa berpindah
ke Jawa Timur. Mpu Sindok, keturunan raja-raja Mataram
Hindu, mendirikan sebuah kerajaan di Jawa Timur dengan pusat pemerintahan di
Watugaluh, yang diperkirakan lokasinya berada di daerah Jombang. Mpu Sindok
digantikan oleh putrinya, Sri Isyana Tunggawijaya, sehingga raja-raja
selanjutnya disebut sebagai Wangsa Isyana. Cucu Ratu Isyana Tunggawijaya,
Mahendratta, menikah dengan Raja Bali, Udayana, dan mempunyai putra Airlangga.
Raja-raja keturunan Airlangga inilah yang memerintahkan pembangunan sebagian
besar candi di Jawa Timur, walaupun terdapat juga candi-candi yang diperkirakan
dibangun pada masa yang lebih awal, seperti Candi Badhut di Malang.
Dalam Prasasti Dinoyo (760
M) disebutkan tentang adanya Kerajaan Kanjuruhan yang
berlokasi di Dinoyo, Malang, yang diyakini mempunyai kaitan erat dengan
pembangunan candi Hindu yang dinamakan Candi Badhut. Kecuali Candi
Badhut dan Candi Songgoriti di Batu, Malang, pembuatan bangunan batu dalam
skala besar baru muncul lagi pada masa pemerintahan Airlangga, misalnya
pembangunan Pemandian Belahan dan Candi Jalatunda di Gunung Penanggungan.
Candi di Jawa Timur mempunyai ciri
yang berbeda dengan yang ada di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di Jawa Timur tidak
didapati candi berukuran besar atau luas, seperti Borobudur, Prambanan atau
Sewu di Jawa Tengah. Satu-satunya candi yang menempati kompleks yang agak luas
adalah Candi Panataran di Blitar. Akan tetapi, candi di Jawa Timur umumnya
lebih artistik. Tatakan atau kaki candi umumnya lebih
tinggi dan berbentuk selasar bertingkat. Untuk sampai ke bangunan utama
candi, orang harus melintasi selasar-selasar bertingkat yang dihubungkan dengan
tangga.
Tubuh bangunan candi di Jawa Timur
umumnya ramping dengan atap bertingkat mengecil ke
atas dan puncak atap berbentuk kubus. Penggunaan makara di sisi
pintu masuk digantikan dengan patung atau ukiran naga.
Perbedaan yang mencolok juga terlihat pada reliefnya. Relief pada candi-candi
Jawa Timur dipahat dengan teknik pahatan yang dangkal(tipis)
dan bergaya simbolis. Objek digambarkan tampak samping dan tokoh
yang digambarkan umumnya diambil dari cerita wayang.
Candi-candi Hindu di Jawa Timur
umumnya dihiasi dengan relief atau patung yang berkaitan dengan Trimurti,
tiga dewa dalam ajaran Hindu, atau yang berkaitan dengan Syiwa,
misalnya: Durga, Ganesha, dan Agastya. Sosok dan hiasan
yang berkaitan dengan ajaran Hindu seringkali dihadirkan bersama dengan sosok
dan hiasan yang berkaitan dengan ajaran Buddha, khususnya Buddha Tantrayana.
Ciri khas lain candi-candi di Jawa Timur adalah adanya relief yang menampilkan
kisah wayang.
Rentang waktu pembangunan
candi-candi di Jawa Timur lebih panjang dibandingkan dengan
yang berlangsung di Jawa Tengah, yang hanya berkisar antara 200-300 tahun.
Pembangunanan candi di Jawa timur masih berlangsung sampai abad ke-15. Candi-candi
yang dibangun pada masa Kerajaan Majapahit umumnya menggunakan bahan dasar batu
bata merah dengan hiasan yang lebih sederhana. Beberapa candi yang dibangun
pada akhir masa pemerintahan Kerajaan Majapahit oleh para ahli antropologi
dinilai mencerminkan “pemberontakan” yang muncul akibat ketidakpercayaan dan
ketidakpuasan masyarakat terhadap keadaan pada masanya yang kacau dan juga
sebagai akibat kekuatiran terhadap munculnya budaya baru. Ciri gerakan tersebut
adalah:
1) Adanya upacara-upacara
mistis-magis yang umumnya dilaksanakan secara rahasia;
2) Dimunculkannya tokoh
penyelamat;
3) Adanya tokoh-tokoh yang
diyakini sebagai pembela keadilan;
4) Munculnya komunitas yang mengucilkan diri,
umumnya ke daerah-daerah pegunungan; serta
5) Dimunculkannya kembali
budaya “lama” sebagai wujud kerinduan terhadap zaman keemasan yang telah
lampau. Ciri-ciri tersebut didapati, di antaranya, di Candi Cetha dan Candi
Sukuh.
Pada
abad ke-13 Kerajaan Majapahit mulai surut pamornya bersamaan dengan masuknya
Islam ke pulau Jawa. Pada masa itu banyak bangunan suci yang berkaitan dengan
agama Hindu dan Buddha ditinggalkan dan akhirnya dilupakan begitu oleh
masyarakat yang sebagian besar telah berganti memeluk agama Islam. Akibatnya,
bangunan candi yang ditelantarkan itu mulai tertimbun longsoran tanah dan
ditumbuhi belukar. Ketika kemudian daerah di sekitarnya berkembang menjadi
daerah pemukiman, keadaannya menjadi lebih parah lagi. Dinding candi dibongkar
dan diambil batunya untuk fondasi rumah atau pengeras jalan, sedangkan bata
merahnya ditumbuk untuk dijadikan semen merah. Sejumlah batu berhias pahatan
dan arca diambil oleh sinder-sinder perkebunan untuk dipajang di halaman
pabrik-pabrik atau rumah dinas milik perkebunan.
Keterangan mengenai candi-candi di
Jawa Timur umumnya bersumber dari Kitab Negarakertagama yang
ditulis oleh Mpu Prapanca (1365) dan Pararaton yang ditulis
oleh Mpu Sedah (1481), selain juga dari berbagai prasasti dan tulisan di candi
yang bersangkutan. Dalam wacana arkeologi Indonesia, terdapat 2 corak
percandian yakni corak Jawa Tengah (abad 5-10 M) dan corak Jawa Timur (abad
11-15 M), dimana masing-masing memiliki corak serta karakteristik berbeda.
Candi bercorak Jawa Tengah umumnya memiliki tubuh yang tambun,
berdimensi geometris vertikal dengan pusat candi terletak di tengah, sedangkan
corak Jawa Timur bertubuh ramping, berundak horisontal dengan
bagian paling suci terletak belakang.
Berbeda denga candi-candi Jawa
Tengah, selain sebagai monumen candi di Jawa Timur diduga kuat juga berfungsi
sebagai tempat pendarmaan dan pengabadian raja yang telahmeninggal.
Candi yang merupakan tempat pendarmaan, antara
lain :
ü Candi Jago untuk Raja
Wisnuwardhana
ü Candi Jawi dan Candi
Singasari untuk Raja Kertanegara
ü Candi Ngetos untuk Raja Hayam
Wuruk
ü Candi Kidal untuk Raja Anusapati
ü Candi Bajangratu untuk Raja
Jayanegara
ü Candi Jalatunda untuk Raja Udayana
ü Pemandian Belahan untuk Raja Airlangga
ü Candi Rimbi untuk Ratu
Tribhuanatunggadewi
ü Candi Surawana untuk Bre Wengker
ü Candi Tegawangi untuk Bre Matahun
atau Rajasanegara.
Dalam filosofi Jawa candi juga
berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal
supaya kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Keyakinan tersebut
berkaitan erat dengan konsep “Dewa Raja” yang berkembang kuat di Jawa saat pada
masa yang sama. Fungsi ruwatan ditandai dengan adanya relief pada
kaki candi yang menggambarkan legenda dan cerita yang mengandung pesan moral,
seperti yang terdapat di Candi Jago, Surawana, Tigawangi, dan Jawi.
Candi di Jawa Timur jumlahnya
mencapai puluhan, umumnya pembangunannya mempunyai kaitan erat dengan Kerajaan
Singasari dan Kerajaan Majapahit. Masih banyak candi, terutama
candi-candi kecil yang belum terliput, di antaranya: Bacem, Bara, Bayi, Besuki,
Carik, Dadi, Domasan, Gambar, Gambar Wetan, Gayatri, Gentong (dalam pemugaran),
Indrakila, Jabung, Jimbe, Kalicilik, Kedaton, Kotes, Lemari, Lurah,
Menakjingga, Mleri, Ngetos, Pamotan, Panggih, Pari, Patirtan Jalatunda,
Sanggrahan, Selamangleng, Selareja, Sinta, Songgoriti, Sumberawan, Sumberjati,
Sumberjati, Sumbernanas, Sumur, Watu Lawang, dan Watugede.
c. Contoh Candi Bercorak
Budha di Jawa Timur
1. Candi Jago
Candi Jago terletak di Dusun
Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, tepatnya 22
km ke arah timur dari Kota Malang. Karena letaknya di Desa Tumpang, candi ini
sering juga disebut Candi Tumpang. Penduduk setempat
menyebutnya Cungkup.
Menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, nama candi ini yang
sebenarnya adalah Jajaghu. Dalam pupuh 41 gatra ke-4
Negarakertagama dijelaskan bahwa Raja Wisnuwardhana yang memerintah Singasari
menganut agama Syiwa Buddha, yaitu suatu aliran keagamaan yang merupakan
perpaduan antara ajaran Hindu dan Buddha. Aliran tersebut berkembang selama masa
pemerintahan Kerajaan Singasari, sebuah kerajaan yang letaknya sekitar 20 km
dari Candi Jago. Jajaghu, yang artinya adalah ‘keagungan’, merupakan istilah
yang digunakan untuk menyebut tempat suci.
Masih menurut kitab
Negarakertagama dan Pararaton, pembangunan Candi Jago berlangsung sejak tahun
1268 M sampai dengan tahun 1280 M, sebagai penghormatan bagi Raja Singasari
ke-4, yaitu Sri Jaya Wisnuwardhana. Walaupun dibangun pada masa
pemerintahan Kerajaan Singasari, disebut dalam kedua kitab tersebut bahwa Candi
Jago selama tahun 1359 M merupakan salah satu tempat yang sering dikunjungi Raja
Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Keterkaitan Candi Jago dengan
Kerajaan Singasari terlihat juga daripahatan padma (teratai), yang
menjulur ke atas dari bonggolnya, yang menghiasi tatakan arca-arcanya. Motif
teratai semacam itu sangat populer pada masa Kerajaan Singasari. Yang
perlu dicermati dalam sejarah candi adalah adanya kebiasaan raja-raja zaman
dahulu untuk memugar candi-candi yang didirikan oleh raja-raja
sebelumnya. Diduga Candi Jago juga telah mengalami pemugaran pada tahun 1343
M atas perintah Raja Adityawarman dari Melayu yang masih memiliki
hubungan darah dengan Raja Hayam Wuruk.
Saat ini Candi Jago masih berupa reruntuhan yang belum dipugar.
Keseluruhan bangunan candi berbentuk segi empat dengan luas 23 x 14 m. Atap
candi sudah hilang, sehingga tinggi bangunan aslinya tidak dapat diketahui
dengan pasti. Diperkirakan bahwa tingginya mencapai 15 m.
Bangunan candi menghadap ke barat, berdiri di atas batur setinggi
sekitar 1 m dan kaki candi yang terdiri atas 3 teras bertingkat. Makin ke atas,
teras kaki candi makin mengecil sehingga pada lantai pertama dan kedua terdapat
selasar yang dapat dilewati untuk mengelilingi candi. Garba ghra (ruang utama)
terletak bergeser agak ke belakang.
Bentuk bangunan bersusun, berselasar dan bergeser ke belakang
merupakan bentuk yang umum ditemui pada bangunan pada zaman megalitikum, yaitu
yang disebut sebagai bangunan punden berundak. Bentuk itu umumnya
digunakan dalam membangun tempat pemujaan arwah leluhur. Menilik bentuknya,
diperkirakan bahwa tujuan pembangunan Candi Jago adalah juga untuk tempat
pemujaan arwah leluhur. Namun masih diperlukan penelitian dan
pengkajian lebih lanjut untuk membuktikan kebenarannya.
Candi Jago dipenuhi dengan panel-panel
relief yang terpahat rapi mulai dari kaki sampai ke dinding ruangan
teratas. Hampir tidak terdapat bidang yang kosong, karena semua terisi dengan
aneka ragam hiasan dalam jalinan cerita-cerita yang mengandung unsur pelepasan
kepergian. Hal ini menguatkan dugaan bahwa pembangunan Candi Jago berkaitan
erat dengan wafatnya Sri Jaya Wisnuwardhana. Sesuai dengan agama yang dianut
oleh Raja Wisnuwardhana, yaitu Syiwa Buddha, maka relief pada Candi Jago
mengandung ajaran Hindu maupun Buddha.
Ajaran Buddha tercermin
dalam relief cerita Tantri Kamandaka dan cerita Kunjarakarna yang terpahat pada teras
paling bawah. Pada dinding teras kedua terpahat lanjutan
cerita Kunjarakarna dan petikan kisah Mahabarata yang memuat ajaran agama
Hindu, yaitu Parthayajna dan Arjuna Wiwaha. Teras ketiga dipenuhi
dengan relief lanjutan cerita Arjunawiwaha. Dinding tubuh candi juga dipenuhi
dengan pahatan relief cerita Hindu, yaitu peperangan Krisna dengan Kalayawana.
Di tengah pelataran depan,
sekitar 6 m dari kaki candi, terdapat batu besar yang dipahat menyerupai bentuk
tatakan arca raksasa, dengan diameter batu sekitar 1 m. Di puncaknya terdapat
pahatan bunga padma yang menjulur dari bonggolnya.
Di sisi barat halaman candi terdapat arca Amoghapasa berlengan
delapan dilatarbelakangi singgasana berbentuk kepala raksasa yang saling
membelakangi. Kepala arca tersebut telah hilang dan lengan-lengannya telah
patah. Sekitar 3 m di selatan arca ini terdapat arca kepala rasaksa setinggi
sekitar 1 m. Tidak didapat informasi apakah benda-benda yang terdapat di
pelataran candi tersebut memang aslinya berada di tempatnya masing-masing.
2. Candi Singasari
Candi Singasari terletak di
Desa Candi Renggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, kurang lebih 9 Km
dari kota Malang ke arah Surabaya. Candi ini juga dikenal dengan nama Candi
Cungkup atau Candi Menara, nama yang menunjukkan bahwa Candi Singasari adalah
candi yang tertinggi pada masanya, setidaknya dibandingkan dengan candi lain di
sekelilingnya. Akan tetapi, saat ini di kawasan Singasari hanya candi Singasari
yang masih tersisa, sedangkan candi lainnya telah lenyap tak berbekas.
Kapan tepatnya Candi Singasari didirikan masih belum diketahui,
namun para ahli purbakala memperkirakan candi ini dibangun sekitar tahun 1300
M, sebagai persembahan untuk menghormati Raja Kertanegara dari
Singasari. Setidaknya ada dua candi di Jawa Timur yang dibangun untuk
menghormati Raja Kertanegara, yaitu Candi Jawi dan Candi Singasari. Sebagaimana
halnya Candi Jawi, Candi Singasari juga merupakan candi Syiwa. Hal ini terlihat
dari adanya beberapa arca Syiwa di halaman candi.
Bangunan Candi Singasari
terletak di tengah halaman. Tubuh candi berdiri di atas batur kaki setinggi
sekitar 1,5 m, tanpa hiasan atau relief pada kaki candi. Tangga naik ke
selasar di kaki candi tidak diapit oleh pipi tangga dengan hiasan makara
seperti yang terdapat pada candi-candi lain. Pintu masuk ke ruangan di tengah
tubuh candi menghadap ke selatan, terletak pada sisi depan bilik penampil
(bilik kecil yang menjorok ke depan). Pintu masuk ini terlihat sederhana tanpa
bingkai berhiaskan pahatan. Di atas ambang pintu terdapat pahatan kepala Kala
yang juga sangat sederhana pahatannya. Adanya beberapa pahatan dan relief yang
sangat sederhana menimbulkan dugaan bahwa pembangunan Candi Singasari
belum
sepenuhnya terselesaikan.
Di kiri dan kanan pintu
bilik pintu, agak ke belakang, terdapat relung tempat arca. Ambang relung juga
tanpa bingkai dan hiasan kepala Kala. Relung serupa juga terdapat di ketiga
sisi lain tubuh Candi Singasari. Ukuran relung lebih besar, dilengkapi dengan
bilik penampil dan di atas ambangnya terdapat hiasan kepala Kala yang sederhana.
Di tengah ruangan utama terdapat yoni yang sudah rusak bagian atasnya. Pada
kaki yoni juga tidak terdapat pahatan apapun.
Sepintas bangunan Candi Singasari terlihat seolah bersusun dua,
karena bagian bawah atap candi berbentuk persegi, menyerupai ruangan kecil
dengan relung di masing-masing sisi. Tampaknya relung-relung tersebut semula
berisi arca, namun saat ini kempatnya dalam keadaan kosong. Di atas setiap
ambang ‘pintu’ relung terdapat hiasan kepala Kala dengan pahatan yang lebih
rumit dibandingkan dengan yang ada di atas ambang pintu masuk dan relung di
tubuh candi. Puncak atap sendiri berbentuk meru bersusun, makin ke atas
makin mengecil. Sebagian puncak atap terlihat sudah runtuh.
Candi Singasari pernah dipugar oleh pemerintah Belanda pada tahun 1930-an,
terlihatan dari pahatan catatan di kaki candi. Akan tetapi, tampaknya pemugaran
yang dilakukan hasilnya belum menyeluruh, karena di sekeliling halaman candi
masih berjajar tumpukan batu yang belum berhasil dikembalikan ke tempatnya
semula.
Di halaman Candi Singasari juga terdapat beberapa arca yang
sebagian besar dalam keadaan rusak atau belum selesai dibuat, di antaranya arca
Syiwa dalam berbagai posisi dan ukuran, Durga, dan Lembu Nandini.
Sekitar 300 m ke arah barat dari Candi Singasari, setelah melalui
permukiman yang cukup padat, terdapat dua arca Dwarapala, raksasa
penjaga gerbang, dalam ukuran yang sangat besar. Konon berat masing-masing arca
mencapai berat 40 ton, tingginya mencapai 3,7 m, sedangkan lingkar tubuh
terbesar mencapai 3,8 m. Letak kedua patung tersebut terpisah sekitar 20 m
(sekarang dipisahkan oleh jalan raya).
Menurut Dwi Cahyono, arkeolog
dari Universitas Negeri Malang (UM), kedua arca Dwarapala itu semula menghadap
ke arah timur, yaitu ke arah Candi Singasari, namun saat ini arca di sisi
selatan sudah berubah arah menghadap agak ke timur laut. Pergeseran arah
tersebut terjadi saat pengangkatannya dari dalam tanah. Sampai akhir 1980-an
patung yang berada di sisi selatan masih terbenam dalam tanah sampai sebatas
dada. Di belakang arca yang berada di selatan terdapat reruntuhan bangunan
batu yang nampak seperti tembok. Diduga kedua arca ini merupakan penjaga
gerbang masuk ke istana Raja Kertanegara (1268-1292) yang letaknya di sebelah
barat (dibelakangi) kedua patung tersebut.
3. Candi Tikus
Mojokerto, Jawa Timur Abad ke-13 M, Majapahit
Candi Tikus terletak di di dukuh
Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sekitar
13 km di sebelah tenggara kota Mojokerto. Candi Tikus yang semula telah
terkubur dalam tanah ditemukan kembali pada tahun 1914. Penggalian situs
dilakukan berdasarkan laporan Bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro,
tentang ditemukannya miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat. Pemugaran
secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Nama ‘Tikus’
hanya merupakan sebutan yang digunakan masyarakat setempat. Konon, pada saat
ditemukan, tempat candi tersebut berada merupakan sarang tikus.
Belum didapatkan sumber informasi
tertulis yang menerangkan secara jelas tentang kapan, untuk apa, dan oleh siapa
Candi Tikus dibangun. Akan tetapi dengan adanya miniatur menara diperkirakan
candi ini dibangun antara abad 13 sampai 14 M, karena miniatur
menara merupakan ciri arsitektur pada masa itu.
Bentuk Candi Tikus yang mirip
sebuah petirtaan mengundang perdebatan di kalangan pakar sejarah dan arkeologi
mengenai fungsinya. Sebagian pakar berpendapat bahwa candi ini merupakan petirtaan,
tempat mandi keluarga raja, namun sebagian pakar ada yang berpendapat
bahwa bangunan tersebut merupakan tempat penampungan dan penyaluran air untuk
keperluan penduduk Trowulan. Namun, menaranya yang berbentuk meru menimbulkan
dugaan bahwa bangunan candi ini juga berfungsi sebagai tempat pemujaan.
Bangunan Candi Tikus
menyerupai sebuah petirtaan atau pemandian, yaitu sebuah kolam
dengan beberapa bangunan di dalamnya. Hampir seluruh bangunan berbentuk persegi
empat dengan ukuran 29,5 m x 28,25 m ini terbuat dari batu bata merah. Yang
menarik, adalah letaknya yang lebih rendah sekitar 3,5 m dari permukaan
tanah sekitarnya. Di permukaan paling atas terdapat selasar selebar sekitar
75 cm yang mengelilingi bangunan. Di sisi dalam, turun sekitar 1 m, terdapat
selasar yang lebih lebar mengelilingi tepi kolam. Pintu masuk ke candi terdapat
di sisi utara, berupa tangga selebar 3,5 m menuju ke dasar kolam.
Di kiri dan kanan kaki tangga
terdapat kolam berbentuk persegi empat yang berukuran 3,5 m x 2 m dengan
kedalaman 1,5 m. Pada dinding luar masing-masing kolam berjajar tiga
buah pancuran berbentuk padma (teratai) yang terbuat dari batu
andesit.
Tepat menghadap ke anak
tangga, agak masuk ke sisi selatan, terdapat sebuah bangunan persegi empat
dengan ukuran 7,65 m x 7,65 m. Di atas bangunan ini terdapat sebuah ‘menara’
setinggi sekitar 2 m dengan atap berbentuk merudengan puncak datar.
Menara yang terletak di tengah bangunan ini dikelilingi oleh 8 menara sejenis
yang berukuran lebih kecil. Di sekeliling dinding kaki bangunan berjajar 17
pancuran berbentuk bunga teratai dan makara.
Hal lain yang menarik ialah adanya dua
jenis batu bata dengan ukuran yang berbeda yang digunakan dalam
pembangunan candi ini. Kaki candi terdiri atas susunan bata merah berukuran
besar yang ditutup dengan susunan bata merah yang berukuran lebih kecil. Selain
kaki bangunan, pancuran air yang terdapat di candi inipun ada dua jenis, yang
terbuat dari bata dan yang terbuat dari batu andesit.
Perbedaan bahan bangunan
yang digunakan tersebut menimbulkan dugaan bahwa Candi Tikus dibangun melalui
tahap. Dalam pembangunan kaki canditahap pertama digunakan batu
bata merah berukuran besar, sedangkan dalam tahap kedua digunakan
bata merah berukuran lebih kecil. Dengan kata lain, bata merah yang berukuran
lebih besar usianya lebih tua dibandingkan dengan usia yang lebih kecil.
Pancuran air yang terbuat dari bata merah diperkirakan dibuat dalam tahap
pertama, karena bentuknya yang masih kaku. Pancuran dari batu andesit yang
lebih halus pahatannya diperkirakan dibuat dalam tahap kedua.
Walaupun demikian, tidak diketahui secara pasti kapan kedua tahap pembangunan
tersebut dilaksanakan.
4. Candi Kidal
Candi Kidal terletak di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten
Malang, tepatnya sekitar 20 km ke arah timur dari kota Malang. Pada awal penemuannya, candi Kidal ditemukan oleh pihak
Belanda pada tahun 1925. Hal ini terbukti dengan tersimpannya arca Siwa, yang
seharusnya berada di candi Kidal, telah tersimpan di Royal Tripical Institute
Amsterdam. Setelah selesai pemugaran
kembali pada dekade 1990-an, candi ini sekarang berdiri dengan tegak dan kokoh serta
menampakkan keindahannya. Jalan menuju ke Candi Kidal sudah bagus setelah
beberapa tahun rusak berat. Di sekitar candi banyak terdapat pohon-pohon besar
dan rindang, taman candi juga tertata dengan baik, ditambah lingkungan yang bernuansa
pedesaan menambah suasana asri bila berkunjung kesana.
Candi ini dapat dikatakan merupakan candi pemujaan yang paling tua di Jawa Timur, karena pemerintahan
Airlangga (11-12 M) dari Kerajaan Kahuripan dan raja-raja Kerajaan Kediri
(12-13 M) hanya meninggalkan Candi Belahan dan Jalatunda yang merupakan
petirtaan atau pemandian. Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari Kerajaan Singasari. Candi ini dibangun
sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, raja kedua dari Singasari yang memerintah selama 20
tahun (1227-1248). Kematian Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai bagian
dari perebuatan kekuasaan Singasari, juga diyakini sebagai bagian dari kutukan
Mpu Gandring. Candi ini juga memuat cerita Garudheya,
yaitu cerita mitologi Hindu, yang berisi pesan moral pembebasan dari perbudakan.
Candi Kidal dibangun pada 1248
M, setelah upacara pemakaman ‘Cradha’
untuk Raja Anusapati dari Kerajaan Singasari. Tujuan pembangunan candi ini
adalah untuk mendarmakan Raja Anusapati,
agar sang raja dapat mendapat kemuliaan sebagai Syiwa Mahadewa. Penggalan
pupuh dalam kitab Negarakretagama, sebuah kakawin kaya akan informasi tentang
kerajaan Majapahit dan Singosari, menceritakan hal yang berkaitan dengan
raja Singosari ke-2, Anusapati, beserta tempat pendharmaannya di candi Kidal.
Bathara Anusapati
menjadi raja
Selama pemerintahannya
tanah Jawa kokoh sentosa
Tahun caka Persian
Gunung Sambu (1170 C - 1248 M) beliau berpulang ke Siwabudaloka
Cahaya beliau diujudkan
arca Siwa gemilang di candi Kidal
Dibangun pada masa
transisi dari zaman keemasan pemerintahan kerajaan-kerajaan Jawa Tengah ke
kerajaan-kerajaan Jawa Timur, pada Candi Kidal dapat ditemui perpaduan corak
candi Jawa Tengah dan candi Jawa Timur. Sebagian pakar bahkan menyebut Candi
Kidal sebagai prototipe candi Jawa Timuran.
Bangunan candi
seluruhnya terbuat dari batu andesit dan
berdimensi geometris vertical serta memiliki panjang 10,8 meter, lebar 8,36 meter, dan
tinggi 12,26 meter. Di sekeliling
halaman candi terdapat susunan batu yang berfungsi sebagai pagar. Tubuh candi berdiri diatas batur (kaki
candi) setinggi sekitar 2 m. Untuk mencapai selasar di lantai kaki candi dibuat
tangga batu tepat di depan pintu. Yang menarik, anak tangga dibuat tipis-tipis, sehingga dari kejauhan tampak
seperti bukan tangga masuk yang sesungguhnya. Tangga batu ini tidak dilengkapi
pipi tangga berbentuk ukel, sebagaimana yang banyak dijumpai di candi lainnya,
namun di kiri-kanan anak tangga pertama terdapat badug (tembok rendah) berbentuk siku yang menutup sisi samping dan
sebagian sisi depan kaki tangga. Badug semacam ini tidak terdapat di candi
lain.
Pintu candi menghadap ke barat, dilengkapi dengan
bilik penampil dengan hiasan kalamakara
(kepala Kala) di atas ambangnya. Hiasan kepala kala yang nampak menyeramkan
dengan matanya melotot penuh, mulut terbuka serta 2 taring besar dan bengkok,
memberi kesan dominan. Adanya 2 taring tersebut juga merupakan ciri
khas candi Jawa Timur. Disudut kiri dan kanan terdapat jari tangan dengan mudra
(sikap) mengancam, sehingga sempurnalah kesan seram yang patut dimiliki oleh
makhkuk penjaga bangunan suci candi. Di kiri dan kanan pintu terdapat
relung kecil tempat meletakkan arca yang dilengkapi dengan bentuk ‘atap’ di
atasnya. Di atas ambang relung-relung ini juga terdapat hiasan kalamakara.
Atap Candi Kidal berebentuk kotak bersusun tiga, makin ke
atas makin mengecil. Puncaknya tidak runcing, melainkan persegi dengan permukaan yang cukup luas. Puncak atap tidak dihiasi
dengan ratna atau stupa, melainkan hanya datar saja. Sekeliling tepi
masing-masing lapisan dihiasi dengan ukiran bunga dan sulur-suluran. Konon dulu
di setiap sudut lapisan atap candi dipasang sebuah berlian kecil. Sekeliling
kaki candi dihiasi dengan pahatan bermotif medalion
yang berjajar diselingi bingkai bermotif bunga dan sulur-suluran. Di kiri dan
kanan pangkal tangga serta di setiap sudut yang menonjol ke luar terdapat
patung binatang yang terlihat mirip singa dalam posisi duduk seperti manusia
dengan satu tangan terangkat ke atas. Patung-patung ini terlihat seperti sedang
menyangga pelipit atas kaki candi yang menonjol keluar dari selasar.
Tubuh candi dapat dikatakan ramping, sehingga selasar
di kaki candi cukup lebar. Dalam tubuh candi terdapat ruangan yang
tidak terlalu luas. Saat ini ruangan tersebut dalam keadaan kosong. Dinding
candi juga dihiasi dengan pahatan bermotif medalion. Pada dinding di sisi
samping dan belakang terdapat relung tempat meletakkan arca. Relung-relung tersebut
juga dilengkapi dengan bentuk ‘atap’ dan hiasan kalamakara di atas ambangnya.
Tidak satupun arca yang masih bisa didapati di Candi Kidal. Konon arca Syiwa
yang indah, yang saat ini tersimpan di museum Leiden, dahulu berasal dari Candi
Kidal.
Bagian
kaki candi memiliki penggambaran kehidupan dan alam manusia (Bhurloka), bagian
badan mewakili langit (Bwahloka), dan puncaknya adalah Swahloka atau kahyangan.
Begitulah masyarakat era Singosari menjelaskan mengenai kosmologi dari semesta
dengan bahasa dan penjelasan yang sederhana, tetapi bermakna dalam.
Bukti sakralitas candi adalah ditemukannya berbagai arca dan
benda-benda pusaka di sekitarnya. Selain tentu saja, kesucian bangunan candi
itu sendiri yang tertuang pada berbagai bentuk makhluk-makhluk gaib dan simbol
magis lainnya.
Pada
bagian tangga, kita disambut oleh sepasang ular berkepala naga dengan mahkota.
Ular dianggap sakral karena hewan melata ini memiliki tubuh yang membumi (grounding), sedangkan naga adalah penguasa air. Perpaduan
antara samudera dan daratan yang menyusun bumi, dilukiskan oleh orang Jawa
sebagai ular berkepala naga. Hewan inilah yang sekaligus menjadi pelindung
(keseimbangan).
Ada
motif teratai yang bermakna kebebasan jiwa, serta burung yang banyak dimaknai
sebagai kedamaian dan kekuatan melawan gravitasi (terbang). Sedangkan, medalion
dengan motif sulur sebagai penggambaran semesta/Tuhan (serupa simbol Chokurei
pada Reiki atau perputaran galaksi bimasakti). Bunga-bunga dan tanaman rambat
menghiasi hampir seluruh dinding. Secara spiritual, bunga adalah perlambang
pencerahan, penyadaran, dan “kebangkitan.” Pada setiap sudut, patung singa
tampak bagai menopang candi. Singa merupakan kendaraan Wisnu (setelahnya, juga
dianggap sebagai hewan pengantar Buddha menuju Nirwana) yang mewakili kekuatan
dan keganasan sebagai salah satu penguasa “Dunia Tengah.”
Dahulu,
pada bagian kiri, adalah Arca Mahakala atau Dewa Perusak dengan sosok raksasa
membawa garda dengan rambut gimbal dan ular. Di sisi kanan, ada Nandicwara,
yaitu lembu yang menjadi kendaraan Siwa dengan rupa manusia membawa trisula.
Sedangkan pada relung utara, Arca Durgamahisasuramardini (Dewi Parwati) berdiri
di atas kerbau (jelmaan raksasa yang telah dikalahkan). Dewi Durga adalah Dewi
Kematian yang biasanya memiliki tangan banyak (berjumlah genap) dengan berbagai
senjata. Di belakang candi, adalah Ganesha (pemimpin kaum gajah atau anak Siwa
yang turun ke bumi, wajahnya hancur terkena pancaran kagum Dewa Sani yang
kemudian diganti Wisnu dengan gajah sebagai simbol kebesaran). Ganesha, Dewa
Ilmu Pengetahuan, biasanya bertangan genap (membawa kapak, mangkuk madu,
tasbih) dengan gading patah sebelah.
Bagian
selatan, diprediksi bersemayam Siwa Mahaguru sebagai perwujudan Anusapati
dengan sikap “lingga mudra” (telapak tangan di atas tangan kiri yang terbuka).
Kini, patung tersebut berada di Museum Royal Tropical Institute di Belanda.
Tak
hanya dihiasi dengan ragam relief yang indah, menurut sebuah sumber, dulu di
setiap pojok candi dihiasi dengan batu berlian. Saat ini, atap candi telah
runtuh sebagian. Dengan bentuk kubus yang semakin meruncing di bagian atas,
menampakkan corak geometris yang indah. Pula sakral dan begitu spiritual. Kisah
Raja Anusapati masih tetap menjadi misteri, namun keagungan yang tersimpan pada
Candi Kidal adalah sebuah rasa yang nyata dapat kita nikmati.
Ruwatan
Dalam kesusastraan Jawa kuno, terdapat mitos yang
terkenal di kalangan masrakyat, yaitu mitos Garudheya, seekor garuda yang
berhasil membebaskan ibunya dari perbudakan dengan tebusan air suci amerta (air
kehidupan).
Berbeda dengan candi-candi Jawa Tengah,
candi Jawa Timuran berfungsi sebagai tempat pen-dharma-an (kuburan) raja,
sedangkan candi-candi Jawa Tengah dibangun untuk memuliakan agama yang dianut
raja beserta masyarakatnya. Seperti dijelaskan dalam kitab Negarakretagama
bahwa Raja Wisnuwardhana didharmakan di candi Jago, Kertanegara di candi Jawi
dan Singosari, Hayam Wuruk di candi Ngetos, dsb.
Dalam filosofi Jawa asli, candi juga
berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya kembali suci
dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Ide ini berkaitan erat dengan konsep
Dewaraja yang berkembang kuat di Jawa saat itu. Dan untuk menguatkan prinsip
ruwatan tersebut sering dipahatkan relief-relief cerita moral dan legenda pada
kaki candi, seperti pada candi Jago, Surowono, Tigowangi, Jawi, dan lain lain.
Berkaitan dengan prinsip tersebut, dan sesuai dengan kitab Negarakertagama maka
candi Kidal merupakan tempat diruwatnya raja Anusapati dan dimuliakan sebagai
Siwa. Sebuah patung Siwa yang indah dan sekarang masih tersimpan di museum
Leiden - Belanda diduga kuat berasal dari candi Kidal. Sebuah
pertanyaan, mengapa dipahatkan relief Garudeya? Apa hubungannya dengan
Anusapati?
Kemungkinan besar sebelum meninggal,
Anusapati berpesan kepada keluarganya agar kelak candi yang didirikan untuknya
supaya dibuatkan relief Garudeya. Dia sengaja berpesan demikian karena
bertujuan meruwat ibunya, Ken Dedes, yang sangat dicintainya, namun selalu
menderita selama hidupnya dan belum sepenuhnya menjadi wanita utama.
Dalam prasati Mula Malurung,
dikisahkan bahwa Ken Dedes adalah putri Mpu Purwa dari pedepokan di daerah
Kepanjen – Malang yang cantik jelita tiada tara. Kecantikan Ken Dedes begitu
tersohor hingga akuwu Tunggul Ametung, terpaksa menggunakan kekerasan
untuk dapat menjadikan dia sebagai istrinya prameswari. Setelah menjadi istri
Tunggul Ametung, ternyata Ken Dedes juga menjadi penyebab kematian suaminya
yang sekaligus ayah Anusapati karena dibunuh oleh Ken Arok, ayah tirinya.
Hal ini terjadi karena Ken Arok, yang
secara tak sengaja ditaman Boboji kerajaan Tumapel melihat mengeluarkan sinar
kemilau keluar dari betis Ken Dedes. Setelah diberitahu oleh pendeta Lohgawe,
bahwa wanita mana saja yang mengeluarkan sinar demikian adalah wanita ardanareswari,
yakni wanita yang mampu melahirkan raja-raja besar di Jawa. Sesuai dengan
ambisi Ken Arok maka diapun membunuh Tunggul Ametung serta memaksa kawin dengan
Ken Dedes. Sementara itu setelah mengawini Ken Dedes, Ken Arok masih juga
mengawini Ken Umang dan menurut cerita tutur Ken Arok lebih menyayangi
istri keduanya dari pada Ken Dedes; Sehingga Ken Dedes diabaikan.
Berlandaskan uraian di atas, maka pemberian
relief Garudeya pada candi Kidal oleh Anusapati bertujuan untuk meruwat ibunya
Ken Dedes yang cantik jelita namun nestapa hidupnya. Anusapati sangat berbakti
dan mencintai ibunya. Dia ingin ibunya menjadi suci kembali sebagai wanita
sempurna lepas dari penderitaan dan nestapa.
Mitos Garudheya
Pada
bagian kaki candi terpahatkan 3 buah relief indah yang menggambarkan cerita
legenda Garudeya (Garuda). Cerita ini sangat popular
dikalangan masyarakat Jawa saat itu sebagai cerita moral tentang pembebasan
atau ruwatan Kesusastraan Jawa kuno berbentuk kakawin tersebut, mengisahkan
tentang perjalanan Garuda dalam membebaskan ibunya dari
perbudakan dengan penebusan air suci amerta.
Cerita
Garuda sangat dikenal masyarakat pada waktu berkembang pesat agama Hindu aliran
Waisnawa (Wisnu) terutama pada periode kerajaan Kahuripan dan Kediri.
Sampai-sampai Airlangga, raja Kahuripan, setelah meninggal diujudkan sebagai
dewa Wisnu pada candi Belahan dan Jolotundo, dan patung Wisnu di atas Garuda
paling indah sekarang masih tersimpan di museum
Trowulan dan diduga berasal dari candi Belahan.
Narasi
cerita Garudeya pada candi Kidal dipahatkan dalam 3 relief dan masing-masing
terletak pada bagian tengah sisi-sisi kaki candi kecuali pintu masuk.
Pembacaannya dengan cara prasawiya (berjalan berlawanan arah jarum jam) dimulai
dari sisi sebelah selatan atau sisi sebelah kanan tangga masuk candi. Relief
pertama menggambarkan Garuda dibawah 3
ekor ular, relief kedua melukiskan Garuda
dengan kendi di atas kepalanya, dan relief ketiga Garuda menggendong seorang wanita. Di antara ketiga relief
tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh.
Dikisahkan
bahwa Dewi Kadru dan Dewi Winata
adalah 2 bersaudara istri resi Kasiapa. Kadru mempunyai anak angkat 3 ekor ular
dan Winata memiliki anak angkat Garuda. Kadru yang pemalas merasa bosan dan
lelah harus mengurusi 3 anak angkatnya yang nakal-nakal karena sering
menghilang di antara semak-semak. Timbullah niat jahat Kadru untuk menyerahkan
tugas ini kepada Winata. Diajaklah Winata bertaruh pada ekor kuda putih
Uraiswara yang sering melewati rumah mereka dan yang kalah harus menurut segala
perintah pemenang. Dengan tipu daya, akhirnya Kadru berhasil menjadi pemenang.
Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani segala keperluan Kadru serta
mengasuh ketiga ular anaknya setiap hari. Winata selanjutnya meminta
pertolongan Garuda untuk membantu tugas-tugas tersebut. (relief pertama).
Ketika
Garuda tumbuh besar, dia bertanya kepada ibunya mengapa dia dan ibunya harus
menjaga 3 saudara angkatnya sedangkan bibinya tidak. Setelah diceritakan
tentang pertaruhan kuda Uraiswara, maka Garuda mengerti. Suatu hari
ditanyakanlah kepada 3 ekor ular tersebut bagaimana caranya supaya ibunya dapat
terbebas dari perbudakan ini. Dijawab oleh ular "bawakanlah aku air suci
amerta yang disimpan di kahyangan serta dijaga para dewa, dan berasal dari
lautan susu". Garuda menyanggupi dan segera mohon izin ibunya untuk
berangkat ke kahyangan. Tentu saja para dewa tidak menyetujui keinginan Garuda
sehingga terjadilah perkelahian. Namun berkat kesaktian Garuda para dewa dapat
dikalahkan. Melihat kekacauan ini Bathara Wisnu turun tangan dan Garuda
akhirnya dapat dikalahkan. Setelah mendengar cerita Garuda tentang tujuannya
mendapatkan amerta, maka Wisnu memperbolehkan Garuda meminjam amerta untuk
membebaskan ibunya dan dengan syarat Garuda juga harus mau menjadi
tungganggannya. Garuda menyetujuinya. Sejak saat itu pula Garuda menjadi
tunggangan Bathara Wisnu seperti nampak pada patung-patung Wisnu yang umumnya
duduk di atas Garuda. Garuda turun kembali ke bumi dengan amerta. (relief
kedua).
Dengan
bekal air suci amerta inilah akhirnya Garuda dapat membebaskan ibunya dari
perbudakan atas Kadru. Hal ini digambarkan pada relief ketiga dimana Garuda
dengan gagah perkasa menggendong ibunya dan bebas dari perbudakan. (relief
ketiga)
Banyak juga candi yg ada di jatim, info menarik seputar objek wisata lain kunjung dimaraik www.marikitapiknik.id
BalasHapus